Pagi itu, Senin 15 Februari 2016, dalam perjalanan ke Bandara Soetta untuk mengikuti Rapat Koordinasi Pengelolaan Situs di Bukit Tinggi, macet lebih dari biasanya. Sejak dari arah Bekasi, di sepanjang jalan banyak ditemukan lubang dari yang kecil sampai seperti kubangan kerbau. Kendaraan melambatkan jalan hanya untuk sekedar menghindari lubang yang menganga di depannya. Ini yang menjadi penyebab bertambah macetnya jalanan Jakarta. Jalanan berlubang mudah sekali ditemukan khususnya pada musim penghujan. Iseng-iseng penulis memainkan smartphone dengan membuka mesin pencari Google. Dengan kata kunci “keluhan jalan rusak”, tak sampai 1 detik, terpaparlah 504.000 hasil. Mulai dari keluhan di kota Depok sampai Wonokerto muncul di layar smartphone. Luar biasa, ternyata semua keluhan tersebut menyinggung pada ketidakmampuan pemerintah, baik kota/ kabupaten sampai pada pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Presiden Jokowi untuk mengatasi keluhan jalanan rusak.
Masih lekat di benak penulis terkait komentar Wakil Presiden Jusuf Kalla pada acara Musyawarah Nasional (Munas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) VII akhir tahun 2015 lalu seperti dikutip dari Detik.com, JK : Jangan Hanya Marah Infrastruktur Jelek Tapi Belum Bayar Pajak. Bahkan JK menyatakan bahwa tak akan pernah ada pembangunan infrastuktur dari kantong Jokowi-JK. Semuanya dari pajak, ujar Jusuf Kalla. Semua sudah mahfum jika pembangunan infrastruktur, administrasi pemerintahan, kesehatan dan keamanan dibiayai pemerintah dari pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sangat sedikit orang atau masyarakat yang masih belum tahu pentingnya pajak untuk pembangunan bangsa Indonesia. Sudah banyak pula iklan maupun pemberitaan tentang pajak. Namun kesadaran masyarakat akan kewajiban perpajakannya tidak meningkat secara signifikan.
Pada tahun 2013, dari 110 juta orang yang aktif bekerja dan memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tercatat yang memiliki NPWP atau terdaftar sebagai wajib pajak hanya berjumlah 20 juta-an atau hanya sekitar 20 persen saja. Dari 20 juta orang yang terdaftar dan memiliki NPWP tersebut, yang memasukkan SPT Tahunan hanya berjumlah sekitar 9 jutaan. Laporan SPT Tahunan adalah tolok ukur kepatuhan wajib pajak. Ini berarti, yang sadar akan kewajiban sebagai warga negara dan patuh pada kewajiban perpajakannya hanya berjumlah 8 % saja dari seluruh masyarakat Indonesia yang harusnya terdaftar sebagai wajib pajak. Sungguh ironis!
Pemberian Layanan Publik
Sudah banyak tokoh baik cendikia, pemerintahan, ilmuwan bahkan tokoh agamapun berbicara mengenai penting dan peranan pajak bagi pembangunan. Sudah banyak pula penyuluhan dan sosialisasi perpajakan melalui berbagai media diselenggarakan. Bahkan yang terbaru, materi pajak akan dimasukkan dalam kurikulum agar bisa mengenal pajak secara lebih dini. Namun “kepatuhan” dan tingkat kesadaran masyarakat tidak beranjak dari tempatnya. Dimanakah letak kata sakti Pajak ‘bersifat memaksa dan dapat dipaksakan?’ Dengan ‘kekuatannya’, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengukuhkan secara jabatan, memeriksa, menyegel, menyita, memblokir rekening dan sifat-sifat memaksa lainnya yang dimilki berdasarkan undang-undang, namun ‘memaksakan kepatuhan’ dan kesadaran wajib pajak seolah-olah masih kekurangan daya.
Tax ratio masih di kisaran 11-12 persen selama satu dasawarsa terakhir. Perlu adanya terobosan untuk meningkatkan kepatuhan dan meningkatkan kesadaran dari masyarakat akan kewajiban perpajakannya. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ruang lingkup pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tersebut jelas disebutkan bahwa pembiayaan pelayanan publik bersumber dari APBN/ APBD dan/ atau dibebankan langsung kepada masyarakat sebagai konsumen barang/ jasa publik. Ini menandakan bahwa tidak akan pernah ada pelayanan publik tanpa pembiayaan dari pendapatan negara yang nota bene 75% berasal dari pajak. Pertanyaan berikutnya adalah, yang tidak berkontribusi, bolehkah menikmati pelayanan publik yang berasal dari pajak yang dipungut dari masyarakat? Bangsa ini seharusnya mulai membedakan mana yang berkontribusi dan mana yang penumpang gelap (free rider) dengan tidak memberikan pelayanan publik kepada mereka yang secara subyektif dan obyektif seharusnya memiliki kewajiban membayar pajak, namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi telah mencantumkan pembedaan pemberian pelayanan publik tertentu kepada yang berkontribusi dalam pembiayaan negara ini dan yang tidak berkontribusi. Dalam rencana Aksi Nomor Urut 57 telah jelas diinstruksikan agar 5 kementerian yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Dalam Negeri untuk menerapkan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) dalam pemberian layanan publik tertentu di lingkung kementerian masing-masing. Ini adalah langkah nyata untuk ‘memaksakan kepatuhan’ kewajiban perpajakan kepada konsumen layanan publik.
Syarat untuk bisa menikmati pelayanan publik adalah dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan selama 2 (dua) tahun berturut-turut adalah untuk membedakan mana yang free rider dan mana yang telah berkontribusi terhadap pembiayaan layanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Langkah ‘memaksakan kepatuhan’ tersebut ini seharusnya tidak semata-mata kepada 5 kementerian tadi. Persyaratan pemberlakuan KSWP seharusnya diterapkan terhadap seluruh layanan publik yang ada di Indonesia. Masyarakat tentu akan berpikir akan pentingnya pajak jika membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), membuat atau memperpanjang Surat Ijin Mengemudi (SIM), mengurus Akte Kelahiran, mengurus pasport, mengurus Akte Pernikahan dan macam-macam layanan publik lainnya mewajibkan KSWP sebagai syarat layanan publik dapat diberikan.
Memaksakan Kepatuhan = Memaksakan Kesadaran
Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor-43/PJ/2015 Tanggal 15 Desember 2015 Tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Status Wajib Pajak Dalam Rangka Pelaksanaan Korfirmasi Status Wajib Pajak Atas Layanan Publik Tertentu Pada Instansi Pemerintah. Pemberlakuan KSWP terhadap seluruh layanan publik yang ada di negeri ini akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak. Idealnya bukan kepatuhan yang seharusnya dikejar, namun kesadaran mandiri dari wajib pajak yang menjadi tujuannya.
Perdebatan tersebut akan terus ada selama perpajakan di Indonesia menganut sistem self asessment. Karena menganut sistem self asessment, maka tolok ukurnya adalah kepatuhan dalam memasukan SPT Tahunan. Kesadaran akan terbentuk jika orang telah ‘dipaksa’ untuk patuh. Secara dini bahkan akan terbentuk kepatuhan jika KSWP diterapkan termasuk pada anak yang akan mendaftarkan diri pada sekolah. NPWP dan SPT Tahunan orang tuanya yang akan mendaftarkan anaknya masuk sekolah telah ‘valid’ ketika di cek melalui KSWP. Si anak akan ‘memaksa ‘ orang tuanya untuk patuh pada kewajiban perpajakannya dan dengan sendirinya si anak akan terbentuk kesadaran akan pentingnya pajak.
Dengan diberlakukannya KSWP pada setiap layanan publik, maka akan muncul ‘Kepatuhan’ karena setiap orang yang akan memanfaatkan layanan publik akan terlebih dahulu ‘mengurus’ atau menyelesaikan kewajiban perpajakannya. Bahkan akan muncul istilah “Urus dulu pajakmu sebelum mengurus lainnya”. Jika kepatuhan telah mendekati sempurna, diyakini kesadaran mandiri masyarakat akan mengikuti. Dengan mamaksakan ‘kepatuhan’ berarti sekaligus akan memaksakan ‘kesadaran’ wajib pajak.
Dedi Suartono
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : pajak.go.id
JENIS BARANG DAN JASA YANG TIDAK DIKENAI PPNselengkapnya
Seiring perkembangan waktu, dan banyaknya pemeriksaan yang dilakukan otoritas pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) , semakin banyak pula pengajuan keberatan akibat tidak terjadinya kesamaan pendapat pada saat pemeriksaan antara Wajib Pajak (WP) dengan Pemeriksa Pajak.selengkapnya
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKANselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Finalselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeriselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badanselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23selengkapnya
Login ke alamat resmi djponline.pajak.go.id, login sesuai NPWP dan Password yang sudah terdaftar pada laman DJP Online dan masukkan captcha yang tertera pada layar utama login. Setelah berhasil login laman akan menampilkan menu Utama, kemudian pilih menu Layanan. Setelah masuk menu Layanan, laman akan menampilkan sub menu dari menu Layanan kemudian pilih eReporting Insentif Covid-19. - Padaselengkapnya
Kementrian Keuangan resmi menanggung PPh Final UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dengan patokan 0.5% dari peredaran bruto. Para pelaku UMKM di seluruh Indonesia mendapat fasilitas pajak PPh Final DTP (Ditanggung Pemerintah). PPh Final DTP tersebut diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020.selengkapnya
Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badanselengkapnya
Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce.selengkapnya
Batas Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunanselengkapnya
TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya
TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (E-COMMERCE)selengkapnya
Mulai masa pajak Juli 2018 ini, Wajib Pajak UMKM sudah dapat menerapkan tarif pajak yang baru yaitu 0,5% (sebelumnya 1%) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.selengkapnya
Langkah-langkah yang harus dilakukan jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunanselengkapnya
Kami informasikan perubahan aturan terkait dengan terbitnya aturan NOMOR S - 421/PJ.03/2018selengkapnya