Ada Pajak dalam Hubungan Antara Masyarakat dan Pemerintah

Rabu 24 Feb 2016 10:01Administratordibaca 10088 kaliArtikel Pajak

Uraian kali ini disajikan oleh penulis secara tak biasa. Sengaja penulis susun dengan terbebas dari landasan yang beraroma landasan hukum dan sederet peraturan. Tujuan penulis sederhana yakni ingin mengetuk dan membangun kesadaran Wajib Pajak dengan mengedepankan logika dan filosofi yang melandasi munculnya kewajiban kita sebagai masyarakat untuk membayar pajak. Sasaran dari tulisan ini juga bukan hanya mereka yang sudah terdaftar menjadi Wajib Pajak tetapi juga kelompok masyarakat (baik Orang Pribadi maupun Badan) yang (dengan sengaja) masih menjaga jarak dari pajak dengan alasan apapun dan memandang pajak sebagai beban yang harus dijauhi sebisa mungkin. Ini sejalan dengan data yang dirilis OECD (2013) bahwa 82.30% orang pribadi pekerja aktif dan 84.50% perusahaan badan belum mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak.

Data per 31 Desember 2014 menunjukkan bahwa jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar di Indonesia adalah 30.574.428 dimana 90.56% diantaranya adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Adapun Wajib Pajak Badan hanya 8.09% dari total yang ada. Namun demikian, setoran pembayaran pajak Wajib Pajak Badan adalah tumpuan bagi penerimaan negara (porsinya hampir 80%), sangat jauh dibanding kontribusi WPOP yang secara kuantitas mengisi mayoritas struktur jenis Wajib Pajak terdaftar. Ketimpangan ini sekaligus mengungkap bahwa Indonesia masih menyimpan begitu banyak potensi pajak yang bisa digali karena kontribusi WP Badan yang dominan itu hanya bersumber dari 15.5% perusahaan yang sudah terdaftar memiliki NPWP. Bayangkan jika semua perusahaan telah terdaftar! Dan disaat yang sama kontribusi Wajib Pajak Orang Pribadi meningkat! Semua itu hanya bisa terwujud jika masyarakat memahami alasan dan arti penting membayar pajak.

 

Hubungan Kepercayaan

Data dari OECD tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 117.4 juta pribadi pekerja aktif yang seharusnya wajib memiliki NPWP (angkatan kerja/ labour force) hanya 17,18% saja yang telah memiliki NPWP atau sebanding dengan 8,11% dari total Warga Negara Indonesia. Jumlah ini sangat rendah jika dibanding Malaysia dan Singapura yang jumlah Wajib Pajak Orang Pribadinya setara dengan 60,45% dan 52,91% jumlah angkatan kerja/ labour force masing- masing atau 24,67% dan 32,32% dari total warga negaranya. Untuk perusahaan pun demikian. Dari 12.9 juta perusahaan yang beroperasi di Indonesia, baru sekitar 2.47 juta yang memiliki NPWP. Ini merupakan salah satu akibat dari rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui pajak.  Memang  sepenuhnya  ini  bukan  kesalahan masyarakat,  sebab  ada banyak  faktor yang mempengaruhi kualitas kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, salah satunya adalah persepsi terhadap pemerintah.

Keberadaan pajak, dalam kaitannya dengan hubungan antara masyarakat dan pemerintah, dapat dirunut kembali hingga ke jaman para nabi dan raja di masa lampau. Sejak masa itu bahkan hingga era modern sekarang ini, kehadiran para pemimpin negara (pemerintah) sejalan dengan Teori Kontrak Sosial yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704). Ia mengemukakan pemikirannya bahwa pada dasarnya negara lahir karena adanya kontrak atau perjanjian antara pihak yang memberikan kepercayaan (trustor/masyarakat) dengan pihak yang menerimanya (trustee/pemerintah) untuk mengelola sejumlah aset atau modal bersama dengan menggunakan sejumlah kewenangan yang digunakan untuk menjalankan kepercayaan tersebut. Kontrak tersebut dibangun atas dasar hubungan kepercayaan (fiduciary trust) sehingga unsur kepercayaan disini berperan penting agar kontrak yang terjalin dapat dipatuhi. Menurut John Locke, apabila hubungan kepercayaan putus, maka pemerintah kehilangan dasar untuk menjalankan kewenangannya. Ini cocok dengan realita dalam konteks perpajakan di Indonesia saat ini. Bahwa rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap kewenangan pemerintah dibidang perpajakan dipicu oleh hilangnya rasa percaya (atau persepsi yang buruk) terhadap pemerintah. Kondisi ini lah yang menjadi akar permasalahan yang ditunjukkan oleh sejumlah angka statistik sebelumnya. Tingginya angka korupsi, kegaduhan sejumlah elit politik di ruang publik, dan amburadulnya kualitas pelayanan publik merupakan sejumlah fenomena yang dianggap paling bertanggungjawab dalam pembentukan persepsi publik yang negatif terhadap pemerintah.

Lepas dari uraian diatas, tentu saja persepsi atau tingkat kepercayaan terhadap pemerintah hanyalah satu dari sejumlah faktor berkembang di masyarakat. Artinya ada sejumlah faktor lain yang juga melekat di masyarakat & wajib pajak itu sendiri. Faktor ini tidak bisa dihindari karena sistem perpajakan Indonesia menganut self-assesment sebagai hasil dari reformasi dibidang perpajakan pada tahun 1984. Faktor utama sebagai penentu keberhasilan Self Assessment System ini adalah kesadaran dan kejujuran dari masyarakat khususnya wajib pajak, untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Rosadi, 2012). Beranjak dari titik ini, penulis kira kita sepakat bahwa upaya untuk berbenah harus datang dua arah yaitu dari pihak wajib pajak dan pemerintah. Upaya untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat sudah sejak lama dilakukan oleh DJP dalam berbagai bentuk, seperti yang dikemukakan oleh Priono (2002) yang menyatakan kegiatan atau upaya dapat dilakukan antara    lain dengan penyuluhan intensif dan berkesinambungan, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, penggunaan  teknologi informasi yang inovatif, peningkatan kepatuhan wajib pajak terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta sosialisasi perpajakan yang berkesinambungan.

 

Tugas Pemerintah: Menggeser Logika Masyarakat dan Wajib Pajak

Akan tetapi penulis melihat adanya satu ruang kosong dalam segenap upaya yang telah dilakukan tersebut. Ruang kosong itu terbentuk karena pendekatan yang dilakukan tidak diawali dengan membangun pondasi logis dan filosofis yang kokoh dalam benak wajib pajak. Akumulasi kekeliruan dalam model penyuluhan langsung atau melalui rujukan ke sejumlah literatur perpajakan yang rigid hanya menciptakan kepatuhan dalam keterpaksaan tanpa kesadaran. Sehingga wajib pajak semata hanya memandang kepatuhan yang mereka lakukan hanya didorong untuk terhindar dari sanksi. Ruang kosong itulah yang mencoba penulis isi melalui artikel ini. Pemerintah dapat memulai pembenahan itu dengan mengganti pendekatan dalam penyuluhan yang dilakukan. Edukasi dan diseminasi yang hanya memaparkan landasan hukum dan sejumlah sanksi harus diganti dengan pendekatan yang membangun logika bahwa pajak adalah kontrak sosial sekaligus harga yang harus dibayar masyarakat atas pelayanan dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Sebagaimana disebutkan oleh Swenson dan Karayan (2007) bahwa the only reason that taxes seem to be everywhere is that they are a price paid for government”.

Masyarakat awam yang berada di level pratama belum memiliki logika yang memadai mengenai hal itu. Logika mendasar yang terjadi sebetulnya adalah bahwa usaha yang dijalankan wajib pajak tidak akan pernah berjalan lancar jika tidak tersedia fasilitas publik yang dinikmati selama ini. Fasilitaas tersebut melekar dalam kehidupan sehari- hari tanpa disadari seperti ketersediaan infrastruktur penunjang mobilitas usaha wajib pajak. Tidak adanya infrastruktur sudah barang tentu akan menghambat usaha yang akan dijalankan atau setidaknya menimbulkan pengeluaran yang tidak perlu (inefisien). Pemerintah tanpa diminta oleh masyarakat sudah dan terus berupaya menyediakannya. Pemerintah sendiri membutuhkan dana untuk mengupayakannya secara berkelanjutan. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan dana itu, pemerintah memungut pajak atas hasil usaha yang diperoleh Wajib Pajak. Bagaimana hal ini menjadi mungkin? Bukankah wajib pajak bekerja sendiri untuk memperoleh hasil usahanya? Ini masalahnya. Pertanyaan semacam ini muncul karena wajib pajak tidak memahami upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah. Pembangunan itu dijalankan untuk menyediakan fasilitas yang akhirnya memudahkan usaha wajib pajak sehingga mendatangkan hasil. Persis seperti yang sudah penulis kemukakan sebelumnya. Fenomena ini juga bisa dimaknai sebagai kesempatan untuk turut serta gotong royong membangun fasilitas publik dan bagi pemerintah pengelolaan uang pajak merupakana kesempatan untuk menegakkan amanah. Menggeser cara berpikir (logika) masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya adalah langkah paling awal untuk meningkatkan kepatuhan dan membangun kesadaran mereka.

 

Tugas  Masyarakat  dan Wajib  Pajak:  Menghargai  Eksistensi  Self-Assesment Sebagai Landasan Filosofis

Sejumlah uraian diatas secara spesifik tertuju kepada pemerintah sebagai saran dalam upaya membangun logika pada masyarakat. Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya bahwa upaya untuk berbenah harus datang dua arah yaitu dari pihak wajib pajak dan pemerintah, maka uraian didalam sub artikel ini mengangkat sistem self-assesment sebagai landasan filosofis yang penting dipahami oleh masyarakat dan wajib pajak. Conny Simanjuntak (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sistem self-assesment memungkinkan wajib pajak berperan aktif sementara DJP hanya bertindak pasif. Kebebasan dan kepercayaan itu diberikan sepenuhnya oleh negara (DJP) kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Poin ini adalah kelebihan sistem self-assesment seperti yang dikemukakan oleh Sadhani. Sehingga kunci utama keberhasilan sistem self-assesment ada pada kepatuhan sukarela yang diharapkan muncul dari wajib pajak (Sukanto, 1982). Sebab melalui sistem self-assesment, DJP mengganggap semua kewajiban perpajakan yang disampaikan Wajib Pajak sudah benar sampai petugas pajak dapat membuktikan adanya kesalahan.

Kepercayaan yang telah diberikan kepada wajib pajak melalui sistem self-assesment hingga saat ini penulis nilai belum sepenuhnya dijaga dengan baik. Rendahnya kepatuhan dan minimnya kesadaran dalam memenuhi kewajiban perpajakan membenarkan penilaian tersebut. Pada tahun 2015 diketahui bahwa tingkat kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2014 hanya mencapai 58.87% menurun dibanding tahun 2013 yang telah menyentuh 60.80%. Bahkan secara rata-rata dalam kurun waktu 2011- 2014 tingkat kepatuhan itu hanya mencapai 54.89% atau secara kuantitas rata-rata dalam kurun waktu tersebut ada sekitar 8.05 juta wajib pajak yang terdaftar sebagai wajib SPT namun tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Dugaan yang mengemuka kemudian adalah belum ditempatkannya sistem self-assesment sebagai pijakan (landasan filosofis) dalam  memenuhi  kewajiban  perpajakannya.  Kepercayaan  yang  diberikan didalam  sistem  self- assesment masih belum dianggap sebagai kesempatan sukarela berkontribusi dan dipandang berkedudukan setara dengan petugas pajak.

Ibarat istilah teologi, sistem self-assesment adalah fitrah yang seharusnya mendasari wajib pajak untuk memandang dirinya sebagai masyarakat yang kooperatif. Sistem self-assesment adalah bentuk pengakuan diri pemerintah (trustee) yang memandang setara dirinya dengan masyarakat (trustor). Sebagaimana halnya dengan kontrak sosial yang pernah dikemukakan oleh John Locke beberapa abad silam. Adapun atas hal itu, masyarakat seharusnya menghargai lebih kerendahan hati pemerintah yang telah berkenan membuang otoritarianisme dalam perpajakan dengan menjalankan sistem self-assesment dengan sebaik-baiknya. Melalui sistem self-assesment, pemerintah telah memberikan penghargaan yang tinggi atas hak individu wajib pajak dan menjaminkan kebebasan yang penuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Hal yang paling mungkin terjadi dari terabaikannya sistem self-assesment oleh masyarakat adalah digunakannya cara-cara yang lebih represif dalam mengerek kepatuhan wajib pajak atau lahirnya solusi yang justru merusak tatanan sistem. Kemungkinan pertama masih tidak terlalu berdampak buruk terhadap hubungan masyarakat dan negara, lagi pula cara yang pertama ini relatif lebih sulit karena membutuhkan dukungan banyak pihak terkait untuk bisa dijalankan. Yaitu dengan menggunakan bukti kualitas pemenuhan kewajiban pajak sebagai alat mengukur tingkat kelayakan penerimaan layanan dan fasilitas publik bagi masyarakat dan wajib pajak. Cara ini meski sulit dan menimbulkan gejolak diawal tetapi berdampak sistemik positif pada akhirnya. Sementara cara yang kedua merupakan solusi yang berorientasi jangka pendek dan menimbulkan kesenjangan dan kontra di masyarakat, seperti yang terjadi pada kebijakan pengampunan pajak belakangan ini. Kita tentu tidak mau mengalami hal yang demikian, sehingga kembali ke fitrah sistem self-assesment adalah sebuah jalan terbaik yang harus dilewati bersama untuk kebaikan bersama pula tentunya.

 

Kesimpulan

Sejumlah data statistik telah banyak bercerita kepada kita bahwa kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakan di negeri ini masih tergolong rendah. Fenomena ini tentu saja bukan semata kesalahan yang berasal dari satu pihak, melainkan kedua pihak (DJP dan masyarakat) juga memiliki andil sehingga upaya perbaikan harus dilakukan secara dua arah yakni oleh pihak DJP dan masyarakat. Penulis berpendapat bahwa kondisi tersebut lahir karena belum kuatnya pondasi logis dan filosofis yang ada didalam benak masyarakat sehingga melahirkan kepatuhan yang tidak dilandasi oleh kepatuhan yang sifatnya sukarela. Pondasi logis yang dimaksud oleh peneliti dapat dibangun melalui edukasi dan diseminasi oleh DJP kepada wajib pajak dengan cara-cara yang lebih humanis dan mengesampingkan terlebih dahulu aspek legal dan penghukuman atas pengabaian kewajiban. Sementara pondasi filosofis adalah dengan cara memaknai kembali konsep  sistem  self-assesment  sebagai  bentuk kerendahan  hati pemerintah yang  telah  berkenan membuang otoritarianisme dalam perpajakan dengan menjalankan sistem self-assesment dengan sebaik-baiknya. Melalui sistem self-assesment, pemerintah telah memberikan penghargaan yang tinggi atas hak individu wajib pajak dan menjaminkan kebebasan yang penuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Masyarakat dihimbau agar kembali ke fitrah sistem self-assesment dalam menjalankan kewajiban perpajakannya untuk kebaikan bersama.

 

Oleh : Erikson Wijaya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Sumber : pajak.go.id (22 Februari 2016)




ARTIKEL TERKAIT
 

Apakah yang dimaksud dengan PPN?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanselengkapnya

Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai PPN

JENIS BARANG DAN JASA YANG TIDAK DIKENAI PPNselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKANselengkapnya

Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Finalselengkapnya

Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeriselengkapnya

Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badanselengkapnya

Kode Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23selengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


Langkah Pelaporan Realisasi Fasilitas PMK Nomor 44/PMK 03/2020Langkah Pelaporan Realisasi Fasilitas PMK Nomor 44/PMK 03/2020

Login ke alamat resmi djponline.pajak.go.id, login sesuai NPWP dan Password yang sudah terdaftar pada laman DJP Online dan masukkan captcha yang tertera pada layar utama login. Setelah berhasil login laman akan menampilkan menu Utama, kemudian pilih menu Layanan. Setelah masuk menu Layanan, laman akan menampilkan sub menu dari menu Layanan kemudian pilih eReporting Insentif Covid-19.   - Padaselengkapnya

Cara Memperoleh Insentif Pajak Ditanggung Pemerintah Bagi UMKM Terdampak COVID-19Cara Memperoleh Insentif Pajak Ditanggung Pemerintah Bagi UMKM Terdampak COVID-19

Kementrian Keuangan resmi menanggung PPh Final UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dengan patokan 0.5% dari peredaran bruto. Para pelaku UMKM di seluruh Indonesia mendapat fasilitas pajak PPh Final DTP (Ditanggung Pemerintah). PPh Final DTP tersebut diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020.selengkapnya

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak BadanBatas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badan

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badanselengkapnya

Pajak E-Commerce : PMK No 210/PMK.010/2018Pajak E-Commerce :  PMK No 210/PMK.010/2018

Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce.selengkapnya

Batas Pembayaran dan Pelaporan SPT TahunanBatas Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunan

Batas Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunanselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 210/PMK.010/2018

TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (E-COMMERCE)selengkapnya

Cara Menghitung Pajak UMKM yang disetor sendiriCara Menghitung Pajak UMKM yang disetor sendiri

Mulai masa pajak Juli 2018 ini, Wajib Pajak UMKM sudah dapat menerapkan tarif pajak yang baru yaitu 0,5% (sebelumnya 1%) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.selengkapnya

Langkah-langkah jika lupa EFIN untuk mengisi SPT TahunanLangkah-langkah jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunan

Langkah-langkah yang harus dilakukan jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunanselengkapnya

S-421/PJ.03/2018 - Pedoman Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) UMKM

Kami informasikan perubahan aturan terkait dengan terbitnya aturan NOMOR S - 421/PJ.03/2018selengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :