Ketiga, mengendalikan penggunaan rokok. Rokok perlu dikendalikan karena efek asap dan zat adiktif yang berbahaya. Komitmen pengendalian rokok sudah mendunia. Negara-negara lain juga berkomitmen dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk tahun 2023.
Komitmen pada tahun 2023, yakni polusi yang disumbang asap rokok tidak sampai 30 persen. Artinya, sekarang jumlah polusi karena asap rokok termasuk besar.
Keempat, melindungi anak dari target pemasaran rokok. Target sasaran pemasaran lebih menyasar pada kelompok remaja, yang mana mereka masih dalam kategori anak-anak. Apalagi terkait dengan iklan rokok.
"Mari kita evaluasi. Ketika mengiklankan rokok, targetnya justru ke remaja. Remaja ini termasuk kelompok anak. Padahal, sudah secara jelas dikatakan pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, anak harus dilindungi (dari target pemasaran rokok). Tapi ya kok (sampai saat ini) terus-terusan dilakukan (pemasaran rokok yang mengarah ke anak)," Sitti menambahkan.
Upaya denormalisasi
Kelima, orang masih menganggap normalisasi terhadap rokok, yang berarti rokok itu sesuatu yang normal. Rokok bukanlah sesuatu yang normal sehingga upaya denormalisasi penggunaan rokok perlu dilakukan.
"Denormalisasi maksudnya mendudukkan kembali masalah. Bahwa rokok itu bukan sesuatu yang normal. Kalau orang merokok itu bukan sesuatu yang cool dan keren," lanjut Sitti.
Industri rokok juga harus berhati-hati mengiklankan rokok dengan membuat jargon. Karena rokok bukan sesuatu yang normal. Hindari membuat jargon iklan rokok yang terkesan mengajak (persuasif).
"Misalnya (jargon) dibilang, 'Enggak ada Loe itu enggak rame,' yang terkesan rokok itu sangat menyenangkan. Seolah-olah rokok adalah sesuatu yang normal, amazing (menarik), dan fantastis. Dengan demikian, upaya denormalisasi rokok ini penting," jelas Sitti.
Sumber : liputan6.com (Jakarta, 17 Maret 2019)
Foto : Liputan6