PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103/PMK.010/2016

Kamis 30 Jun 2016 17:45Ridha Anantidibaca 2462 kaliPeraturan Pajak - PPh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 103/PMK.010/2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
159/PMK.010/2015 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS
PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN


UPDATE ATURAN INI : KLIK DISINI



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, perlu mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; 


Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 159/PMK.010/2015 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal I


Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

 

(1)

Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria:

a.

merupakan Wajib Pajak baru;

b.

merupakan Industri Pionir;

c.

mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang, paling sedikit sebesar Rp l.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);

d.

memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan;

e.

menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan

f.

harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2011.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal.

(3)  

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak badan:

a.

dimiliki langsung oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

b.

kepemilikannya terdiri atas saham-saham yang terdaftar pada bursa efek di Indonesia.

(4) 

Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a.

Industri logam hulu;

b.

Industri pengilangan minyak bumi atau industri dan infrastruktur pengilangan minyak bumi, termasuk yang menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU);

c.

Industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;

d.

Industri permesinan yang menghasilkan mesin industri;

e.

Industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan;

f.

Industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi;

g.

Industri transportasi kelautan; dan/atau

h. 

dihapus;

i.

Infrastruktur ekonomi yang menggunakan skema selain Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

(5)

Batasan nilai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diturunkan menjadi paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f, dan memenuhi persyaratan memperkenalkan teknologi tinggi (high tech).

(6)

Besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan nilai rencana penanaman modal baru kurang dari Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

(7) 

Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang memenuhi persyaratan:

a.

telah berproduksi secara komersial;

b.

pada saat mulai berproduksi secara komersial, Wajib Pajak telah merealisasikan nilai penanaman modal paling sedikit sebesar rencana penanaman modalnya; dan

c.

bidang usaha penanaman modal sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman modal dan termasuk dalam cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(8)

Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dan penetapan dimaksud paling sedikit berisi mengenai:

a.

Tanggal saat mulai berproduksi secara komersial sebagai dasar penetapan Tahun Pajak dimulainya pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;

b.

Penetapan jumlah realisasi penanaman modal pada saat mulai berproduksi secara komersial; dan

c.

Kesesuaian bidang usaha penanaman modal dengan rencana bidang usaha penanaman modal dan masuk dalam cakupan Industri Pionir.

(9)

Tata cara penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

(10)

Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah saat pertama kali hasil produksi dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut dari kegiatan utama usaha yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.

  
     

Pasal II


Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:

  1. Terhadap usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diajukan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 yang belum diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan atau disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan, sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, pemrosesannya dikecualikan dari ketentuan Pasal 5 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014.
  2. Pemrosesan atas usulan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan penerbitan keputusan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan oleh Menteri Keuangan didasarkan pada pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.

 

Pasal III


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Juni 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO

 

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

 ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 967



Selengkapnya : DOWNLOAD DISINI

 




ARTIKEL TERKAIT
 

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 76/PMK.03/2011

TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTOselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/PMK.03/2010

BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTOselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018

TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 220/PJ./2002

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAANselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 17/PJ/2015

NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETOselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/PMK.03/2010

BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTOselengkapnya

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991

KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)selengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 421/PJ.03/2018

PEDOMAN TERKAIT SURAT KETERANGAN BEBAS PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PP NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU YANG DIGANTIKAN DENGAN PP NOMOR 23 TAHUN 2018selengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018

TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PMK.010/2018

PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PMK.03/2018

TENTANG CARA LAIN UNTUK MENGHITUNG PEREDARAN BRUTOselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 11/PJ/2017

BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTOselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2017

PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN ELEKTRONIKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103/PMK.010/2016

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 159/PMK.010/2015 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADANselengkapnya

KEWAJIBAN PELAPORAN PAJAK SECARA ELEKTRONIK BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK PENGGUNA E-FAKTUR

KEWAJIBAN PELAPORAN PAJAK SECARA ELEKTRONIK BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK PENGGUNA E-FAKTURselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 17/PJ/2015

NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETOselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013

TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :