PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010

Senin 23 Nov 2015 14:03Oktalista Putridibaca 5101 kaliPeraturan Pajak - PPh 21

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 262/PMK.03/2010
 
TENTANG
 
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
 
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :
 
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

  

Mengingat :
   

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);
  4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

   

MEMUTUSKAN :

 
Menetapkan :
 
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.

    

Pasal 1

 
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalahUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
  4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
  5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
  6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota POLRI adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
  7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
  8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

 

BAB II
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh PASAL 21
 
Pasal 2

  

(1)

PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.

(2)

Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:

a.

Pejabat Negara, untuk:

1)

gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau

2)

imbalan tetap sejenisnya,

yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.

PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c.

Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).

  

 

Pasal 3


Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.

 

 

Pasal 4


Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut.

    

 

BAB III
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 21

Pasal 5

 

(1)

Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak.

(2)

Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(3)

Besarnya Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:

  1. biaya jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya jabatan; dan
  2. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

(4)

Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan ditentukan berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya pensiun.

 

 

Pasal 6


Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah penghasilan bruto.

 

 

Pasal 7

 

(1)

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(2)

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. bagi wanita kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri;
  2. bagi wanita tidak kawin, sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.

(3)

Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.

(4)

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.

    

 

BAB IV
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENETAPANNYA

Pasal 8

 

(1)

Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

(2)

Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.

(3)

Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah jumlah gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan dikalikan 12 (dua belas);
  2. dalam hal terdapat pembayaran penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas), serta rapel gaji dan/atau tunjangan maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta rapel gaji dan/atau tunjangan.

(4)

Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu dimana Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja.

(5)

Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:

  1. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan yang dibayarkan setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagi 12 (dua belas);
  2. atas penghasilan seperti gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) serta rapel gaji dan/atau tunjangan adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.

(6)

Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI setelah bulan Januari, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun.

(7)

Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak Desember adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

(8)

Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

(9)

Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

(10)

Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari pembayaran gaji, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan tersebut harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang bersangkutan.

 

 

Pasal 9

 
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:

  1. sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
  2. sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
  3. sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.


      

Pasal 10

 

(1)

Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

(2)

Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.

(3)

Pengenaan tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diajukan.

(4)

Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah pada saat pembayaran penghasilan tetap dan teratur yang diterima setiap bulan.

(5)

Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak kepada bendahara pemerintah.

(6)

Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan memberikan:

  1. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah; atau
  2. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diri sendiri dengan kode keluarga dari Nomor Pokok Wajib Pajak suami,

kepada bendahara pemerintah.

 

 

BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK

Pasal 11

 

(1)

Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.

(2)

Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

  1. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan; dan
  2. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak.

(3)

Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

(4)

Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.

 

 

Pasal 12

 

(1)

Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.

(2)

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

Pasal 13

 

(1)

Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah, kelebihan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.

(2)

Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21 yang bersifat Final dari penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain sehingga terdapat kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

    

 

Pasal 14

 

(1)

Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.

(2)

Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.

(3)

Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun paling lama pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.

 

 

Pasal 15

 

(1)

PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)

Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB VI
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK

Pasal 16

 

(1)

Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:

  1. awal tahun kalender;
  2. saat mulai menjadi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI;
  3. saat mulai pensiun,

sebagai dasar penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan wajib menyerahkannya kepada bendahara pemerintah.

(2)

Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun pada bagian tahun kalender, maka Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja yang lama wajib menyampaikan Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:

  1. tempat bekerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
  2. yang membayar uang pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai pensiun;

paling lama 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun.

    

 

Pasal 17


PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan PPh Pasal 21 yang dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.

    

 

Pasal 18


Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.

  

 

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19


Tata cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

  

 

Pasal 20


Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur untuk bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan Desember 2010, pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan Atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.

 

Pasal 21


Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 22


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal pada tanggal 1 Januari 2011

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangannya Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal

 31 Desember 2010

MENTERI KEUANGAN
           

              
ttd.
                          
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

   

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 31 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

Ttd.

PATRIALIS AKBAR           

  

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 601

 

 

Selengkapnya : DOWNLOAD DISINI

Contoh Penghitungan : KLIK DISINI




ARTIKEL TERKAIT
 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009

TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUSselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101/PMK.010/2016

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 16/PJ/2016

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/PMK.010/2015

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102/PMK.010/2016

PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILANselengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 16/PJ/2016

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102/PMK.010/2016

PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101/PMK.010/2016

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/PMK.010/2015

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 162/PMK.011/2012

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010

TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009

TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUSselengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :