PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015

Rabu 6 Jan 2016 12:00Oktalista Putridibaca 6402 kaliPeraturan Pajak - KUP

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 187/PMK.03/2015

TENTANG

TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor10/PMK.03/2013;

b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.

4. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

5. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

6. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.

7. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.

8. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor yang selanjutnya disingkat SPKPBM adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka impor yang tidak atau kurang dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penagihan piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak dalam rangka impor.

9. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean yang selanjutnya disingkat SPTNP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.

10. Surat Penetapan Pabean yang selanjutnya disingkat SPP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.

11. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean yang selanjutnya disingkat SPKTNP adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.

12. Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disebut SKD Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan P3B yang berisi status domisili (resident) Subjek Pajak Luar Negeri dengan menggunakan formulir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

13. Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.

14. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2

Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:

a. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;

b. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor;

c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;

d. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau

e. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri.

BAB III

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

ATAS PEMBAYARAN PAJAK OLEH PIHAK PEMBAYAR

Pasal 3

Pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa:

a. pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;

b. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;

c. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau

d. pembayaran pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.

Pasal 4

(1) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diminta kembali oleh pihak pembayar yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.

(2) Pihak pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Wajib Pajak orang pribadi;

b. Wajib Pajak badan; dan

c. orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

(4) Permohonan pengembalian harus ditandatangani oleh pihak pembayar.

(5) Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan pihak pembayar, permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(6) Permohonan pengembalian harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

(7) Permohonan pengembalian disampaikan secara langsung ke:

a. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan, dalam hal orang pribadi atau badan tersebut tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,

dan kepadanya diberikan bukti penerimaan surat.

(8) Selain penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), permohonan dapat disampaikan melalui:

a. pos dengan bukti pengiriman surat; atau

b. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(9) Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) merupakan bukti penerimaan surat permohonan.

Pasal 5

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.

(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke kas negara; dan

b. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam SPT.

(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

(5) Dalam hal laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB.

(6) Dalam hal laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon.

Pasal 6

(1) Dalam hal pihak pembayar pajak merupakan Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak.

(2) Dalam hal pihak pembayar pajak merupakan orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) diterbitkan dengan mengisi kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pada 9 (sembilan) digit pertama dicantumkan angka 0 (nol);

b. pada 3 (tiga) digit berikutnya dicantumkan angka kode Kantor Pelayanan Pajak tempat permohonan diajukan; dan

c. pada 3 (tiga) digit terakhir dicantumkan angka 0 (nol).

Pasal 7

(1) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dilakukan melalui penerbitan SPMKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

(2) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan melalui penerbitan SPMKP ke rekening bank di Indonesia dalam mata uang Rupiah atas nama orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

BAB IV

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

ATAS KELEBIHAN PAJAK DALAM RANGKA IMPOR

Pasal 8

Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:

a. SPTNP atau SPKTNP;

b. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan;

c. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;

d. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;

e. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;

f. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; atau

g. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,

yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

Pasal 9

(1) Kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.

(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

(4) Permohonan pengembalian harus ditandatangani oleh Wajib Pajak.

(5) Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(6) Permohonan pengembalian harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. fotokopi bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pabean cukai dan pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pabean cukai dan pajak;

b. fotokopi SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPP, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;

c. fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP, dalam hal diajukan keberatan, banding dan/atau peninjauan kembali terhadap SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP;

d. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

e. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

(7) Permohonan pengembalian disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan kepadanya diberikan bukti penerimaan surat.

(8) Selain penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), permohonan dapat disampaikan melalui:

a. pos dengan bukti pengiriman surat; atau

b. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(9) Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) merupakan bukti penerimaan surat permohonan.

 

Pasal 10

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.

(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas negara;

b. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPh Pasal 22 impor, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan;

c. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPN impor dan SPT Tahunan Tahun Pajak terjadinya pembayaran telah dilaporkan, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan

d. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan PPnBM impor, pajak tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.

(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB.

(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon.

Pasal 11

(1) SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak.

(2) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas SKPLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan SPMKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

BAB V

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

ATAS KESALAHAN PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN

Pasal 12

(1) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dapat berupa:

a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut;

b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;

c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau

d. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.

(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dapat berupa:

a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;

b. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau

c. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.

 Pasal 13

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.

(2) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut, sepanjang pihak yang dipungut bukan Pengusaha Kena Pajak, dengan mengajukan permohonan.

(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.

(4) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan.

(5) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan.

(6) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh orang pribadi atau badan tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan.

(7) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan secara langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut.

Pasal 14

(1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

(2) Permohonan pengembalian harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(3) Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(4) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak, atau Faktur Pajak, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

(5) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

d. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.

(6) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan yang bertindak untuk dan atas nama Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

d. surat permohonan dari Subjek Pajak Luar Negeri;

e. surat kuasa dari Subjek Pajak Luar Negeri yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan; dan

f. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.

(7) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak, atau Faktur Pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

d. surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.

(8) Dalam hal pemotong atau pemungut tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) dan pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, permohonan dilakukan secara langsung oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut dan harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

d. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.

(9) Dalam hal pemotong atau pemungut tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) dan pihak yang dipotong atau dipungut merupakan orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, permohonan dilakukan secara langsung oleh orang pribadi atau badan tersebut dan harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak, atau Faktur Pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

(10) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan surat.

(11) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat bentuk usaha tetap terdaftar dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan surat.

(12) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan surat.

(13) Selain penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), ayat (11), dan ayat (12), permohonan dapat disampaikan melalui:

a. pos dengan bukti pengiriman surat; atau

b. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(14) Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (10), ayat (11), ayat (12), atau ayat (13) merupakan bukti penerimaan surat permohonan.

 

Pasal 15

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.

(3) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara; 

b. dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a terkait dengan pemotongan atau pemungutan yang bersifat tidak final, Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;

c. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau pemungut dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut; dan

d. pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.

(4) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;

b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;

c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak pemungut; dan

d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.

(5) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;

b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dibiayakan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;

c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak pemungut; dan

d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.

(6) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:

a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;

b. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut;

c. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperhitungkan dengan pajak Subjek Pajak Luar Negeri yang terutang di luar negeri; dan

d. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak Subjek Pajak Luar Negeri di luar negeri.

(7) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

(8) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB.

(9) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon.

(10) Dalam hal atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diterbitkan SKPLB terhadap Subjek Pajak Luar Negeri, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan informasi kepada otoritas perpajakan negara domisili Subjek Pajak Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 16

(1) SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (8) diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut merupakan:

a. Wajib Pajak;

b. Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau

c. orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, dan permohonannya diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat ditemukan, SKPLB diterbitkan atas nama pihak yang dipotong atau dipungut, dengan mengisi kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pada 9 (sembilan) digit pertama dicantumkan angka 0 (nol);

b. pada 3 (tiga) digit berikutnya dicantumkan angka kode Kantor Pelayanan Pajak tempat permohonan diajukan; dan

c. pada 3 (tiga) digit terakhir dicantumkan angka 0 (nol).

Pasal 17

(1) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dilakukan melalui penerbitan SPMKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

(2) Dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut merupakan orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, pengembalian pajak atas SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan melalui penerbitan SPMKP ke rekening bank di Indonesia dalam mata uang Rupiah atas nama orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

(3) Dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pengembalian pajak atas SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan melalui penerbitan SPMKP ke rekening bank di Indonesia dalam mata uang Rupiah atas nama Subjek Pajak Luar Negeri yang berkenaan atau orang pribadi atau badan yang ditunjuk oleh Subjek Pajak Luar Negeri.

(4) Dalam hal pengembalian pajak melalui penerbitan SPMKP ke rekening bank di Indonesia atas nama orang pribadi atau badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Subjek Pajak Luar Negeri menyampaikan surat penunjukan nomor rekening bank di Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak.

BAB VI

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN

ATAS KELEBIHAN PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN TERKAIT PENERAPAN P3B

Pasal 18

Kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e disebabkan:

a. kesalahan penerapan P3B;

b. keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan atau pemungutan; atau

c. Persetujuan Bersama.

Pasal 19

(1) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang dipotong atau dipungut melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan.

(2) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang dipotong atau dipungut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan.

(3) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan secara langsung oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 20

(1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

(2) Permohonan pengembalian harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

(3) Dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak atau pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(4) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

d. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri;

e. SKD Subjek Pajak Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

f. fotokopi Persetujuan Bersama, dalam hal kelebihan pemotongan atau pemungutan disebabkan adanya Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c; dan

g. dokumen pendukung bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan terkait dengan P3B.

(5) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan yang bertindak untuk dan atas nama Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

d. surat permohonan dari Subjek Pajak Luar Negeri;

e. surat kuasa dari Subjek Pajak Luar Negeri yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan;

f. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri;

g. SKD Subjek Pajak Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

h. fotokopi Persetujuan Bersama, dalam hal kelebihan pemotongan atau pemungutan disebabkan adanya Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c; dan

i. dokumen pendukung bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan terkait dengan P3B.

(6) Dalam hal pemotong atau pemungut tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), permohonan dilakukan secara langsung oleh Subjek Pajak Luar Negeri dan harus dilampiri dengan dokumen berupa:

a. asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;

b. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;

c. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

d. surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri;

e. SKD Subjek Pajak Luar Negeri sesuai dengan keten




ARTIKEL TERKAIT
 

SURAT EDARAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI OLEH APARATUR SIPIL NEGARA/ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA/KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA MELALUI e-FILINGselengkapnya

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE - 42/PJ/2013

PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)selengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.03/2017

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2016

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNANselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2018

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAKselengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)selengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2018

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 30/PJ/2017

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYAselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 22/PJ/2017

PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.03/2017

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 06/PJ/2016

PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAKselengkapnya

SURAT EDARAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI OLEH APARATUR SIPIL NEGARA/ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA/KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA MELALUI e-FILINGselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2016

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015

TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA.selengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :