PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.03/2017

Selasa 31 Okt 2017 14:31Ridha Anantidibaca 19661 kaliPeraturan Pajak - KUP

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 147/PMK.03/2017

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  2. bahwa untuk mendukung program kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) oleh Pemerintah Indonesia, diperlukan penyederhanaan persyaratan administrasi dalam rangka pendaftaran Wajib Pajak dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  3. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, serta meningkatkan pengawasan atas kepatuhan Pengusaha Kena Pajak, diperlukan penyesuaian ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;


Mengingat : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  4. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  5. Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  6. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
  7. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  8. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
  9. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan perubahannya.
  10. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  12. Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Penelitian PBB adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
  13. Surat Ketetapan Pajak yang selanjutnya disingkat SKP adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, termasuk Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  14. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  16. Surat Tagihan Pajak yang selanjutnya disingkat STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda, termasuk Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  17. Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  18. Pencabutan Pengukuhan PKP adalah tindakan mencabut Pengukuhan PKP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  19. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  20. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disingkat KP2KP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.
  21. Wajib Pajak Non-Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan Penghapusan NPWP.
  22. Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).
  23. Sertifikat Elektronik (digital certificate) adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.

 

BAB II
PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NPWP

Pasal 2

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi:

a.tempat tinggal Wajib Pajak;

b. tempat kedudukan Wajib Pajak; atau

c. tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.

(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan:

a. tempat tinggal orang pribadi, tempat kedudukan Badan, atau tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha;

b. tempat terdaftar bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu pada KPP tertentu; dan

c. tempat pendaftaran tertentu sebagai tempat pendaftaran Wajib Pajak.

(3) Terhadap Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan NPWP.

(4) Persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang PPh.

(5) Persyaratan objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang PPh.

(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Wajib Pajak orang pribadi;

b. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;

c. Wajib Pajak Badan; dan

d. bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Bagian Kesatu
Wajib Pajak Orang Pribadi

Pasal 3

 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a, Wajib Pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak; dan

b. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

(3) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:

a. hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;

b. menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau

c. memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

(4) Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, selain diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi masing-masing tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk memperoleh NPWP cabang bagi setiap tempat kegiatan usaha.


(5) Orang pribadi yang belum memenuhi persyaratan subjektif atau objektif dapat mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak.

 

Pasal 4

 

(1) Wajib Pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, wajib mendaftarkan diri paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah penghasilan Wajib Pajak pada suatu bulan yang disetahunkan sama dengan atau telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.


(2) Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, wajib mendaftarkan diri paling lama 1 (satu) bulan setelah kegiatan usaha atau pekerjaan bebas mulai dilakukan.

 

Pasal 5

 

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis.


(2) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

 

Pasal 6

 

(1) Untuk Wajib Pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilampiri dokumen yang menunjukkan identitas diri Wajib Pajak untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing.


(2) Untuk Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilampiri:

a. dokumen yang menunjukkan identitas diri Wajib Pajak untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing;

b. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak untuk setiap tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan

c. dokumen yang menunjukkan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.


(3) Untuk Wajib Pajak wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).

(4) Untuk Wajib Pajak wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:

a. menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b; atau

b. memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c,

permohonan pendaftaran Wajib Pajak selain dilampiri dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) atau ayat (2), juga ditambah dengan fotokopi NPWP suami dan fotokopi akta perkawinan atau dokumen sejenisnya.


(5) Dalam hal nomor induk kependudukan Wajib Pajak Warga Negara Indonesia tervalidasi dengan basis data kependudukan, permohonan pendaftaran Wajib Pajak tidak perlu dilampiri:

a. dokumen yang menunjukkan identitas diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) huruf a; dan/atau

b. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
  

Pasal 7


Berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.


Pasal 8

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala KPP atau KP2KP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.

(2) Penerbitan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.

 

Pasal 9

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak dalam hal:

a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan

b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar.


(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Setelah melakukan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 10

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam hal tempat tinggal Wajib Pajak telah pindah ke wilayah kerja KPP lain.


(2) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak yang baru.


(3) Pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan pemindahan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan tempat tinggal Wajib Pajak.


(5) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(6) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(7) Setelah melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak atau Kepala KPP memberitahukan pemindahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

     

Pasal 11

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif.


(2) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria Wajib Pajak Non-Efektif.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Kepala KPP memberitahukan persetujuan penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif atau penolakan permohonan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 12

 

(1) Kepala KPP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


(2) Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:

a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;

b. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;

c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP;

d. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik dan pegawai yang telah diberikan NPWP melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah dan penghasilan netonya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak;

e. wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya; atau

f. wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.

Pasal 13

 

(1) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(2) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.


(3) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, berupa:

a. dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak sudah meninggal dunia beserta surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris, dalam hal Wajib Pajak telah meninggal dunia;

b. dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, dalam hal Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;

c. dokumen yang menunjukkan bahwa penghasilan neto orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik dan pegawai yang telah diberikan NPWP melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak; atau

d. fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis dan surat pernyataan tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau surat pernyataan tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami, dalam hal wanita kawin tidak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suaminya.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(7) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.


(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berakhir.

 

Pasal 14

 

(1) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilakukan Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.


(2) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP juga dapat melakukan penghapusan NPWP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:

a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;

b. Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang; atau

c. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan penghapusan NPWP.

 

Pasal 15

 

(1) Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;

b. tidak sedang dilakukan tindakan:

1. pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;

2. pemeriksaan bukti permulaan;

3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau

4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;

c. tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual agreement procedure);

d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement);

e. seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan

f. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:

1. keberatan;

2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;

3. pengurangan atau pembatalan SKP;

4. pengurangan atau pembatalan STP;

5. pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;

6. gugatan;

7. banding; dan/atau

8. peninjauan kembali.


(2) Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a. utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa; dan/atau

b. utang pajak yang dimiliki oleh:

1. Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; atau

2. Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan.

 

Bagian Kedua
Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi

Pasal 16

 

(1) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi menggunakan NPWP dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.


(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki NPWP, dan dari warisan tersebut diterima atau diperoleh penghasilan, wakil dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan tempat kegiatan usaha orang pribadi yang meninggalkan warisan.


(3)  Pendaftaran diri oleh wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut meninggal dunia.


(4) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), yaitu:

a. salah seorang ahli waris;

b. pelaksana wasiat; atau

c. pihak yang mengurus harta peninggalan,

dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan.


(5) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.

 

Pasal 17

 

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.


(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:

a. fotokopi dokumen yang menunjukkan identitas diri orang pribadi yang meninggalkan warisan;

b. fotokopi akta kematian, surat keterangan kematian, atau dokumen lain yang dipersamakan; dan

c. dokumen yang menunjukkan kedudukan sebagai wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.


(3) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(5)  Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

 

Pasal 18

 

(1) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.


(2) Penerbitan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.

 

Pasal 19

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, dalam hal:

a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan

b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar.


(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Setelah melakukan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberitahukan perubahan tersebut kepada wakil Wajib Pajak.

 

Pasal 20

 

(1) Kepala KPP atas permohonan wakil Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan sudah selesai dibagi.


(2) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa warisan sudah selesai dibagi dengan menyebutkan ahli waris.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(7) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berakhir.

 

Pasal 21

 

(1) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dilakukan Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.


(2) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP juga dapat melakukan penghapusan NPWP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.


(4) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan penghapusan NPWP.

 

Pasal 22

 

(1) Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a.tidak mempunyai utang pajak;

b. tidak sedang dilakukan tindakan:

1. pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;

2. pemeriksaan bukti permulaan;

3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau

4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;

c. tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual agreement procedure);

d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement);

e. seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan

f. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:

1. keberatan;

2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;

3. pengurangan atau pembatalan SKP;

4. pengurangan atau pembatalan STP;

5. pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;

6. gugatan;

7. banding; dan/atau

8. peninjauan kembali.


(2) Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan utang pajak yang penagihannya telah kedaluwarsa.

 

Bagian Ketiga
Wajib Pajak Badan

Pasal 23

 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan.


(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Wajib Pajak yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak; atau

b. Wajib Pajak yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.


(3) Terhadap Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha di beberapa tempat, selain diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi masing-masing tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk memperoleh NPWP cabang pada setiap tempat kegiatan usaha.

 

Pasal 24

 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat pendirian.


(2) Terhadap Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha di beberapa tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah adanya suatu kegiatan usaha yang mulai dilakukan oleh Wajib Pajak di tempat kegiatan usaha tersebut.

 

Pasal 25

 

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.


(2) Dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya;

b. dokumen yang menunjukkan identitas diri pengurus Badan; dan

c. dokumen yang menunjukkan tempat kegiatan usaha Badan.


(3) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

secara langsung;

melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(5) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.

 

Pasal 26

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.

(2) Penerbitan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.

 

Pasal 27

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak dalam hal:

a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan

b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar.


(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya pembahan data Wajib Pajak.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Setelah melakukan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 28

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam hal tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya pindah ke wilayah kerja KPP lain.


(2) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak yang baru.


(3) Pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan pemindahan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan tempat kedudukan Wajib Pajak.


(5)  Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(6) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(7)  Setelah melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak atau Kepala KPP memberitahukan pemindahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 29

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif.


(2) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria Wajib Pajak Non-Efektif.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan  jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Kepala KPP memberitahukan persetujuan penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif atau penolakan permohonan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 30

 

(1) Kepala KPP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


(2) Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:

a. Wajib Pajak dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;

b. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau

c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang.
  

Pasal 31

 

(1) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.


(2) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.


(3) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan; atau

b. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(7) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.


(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berakhir.
     

Pasal 32

 

(1) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.


(2) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP juga dapat melakukan penghapusan NPWP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.


(4) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan penghapusan NPWP.

 

Pasal 33

 

(1) Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;

b. tidak sedang dilakukan tindakan:

1. pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;

2. pemeriksaan bukti permulaan;

3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau

4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;

c. tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual agreement procedure);

d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement);

e. seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan

f. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:

1. keberatan;

2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;

3. pengurangan atau pembatalan SKP;

4. pengurangan atau pembatalan STP;

5. pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;

6. gugatan;

7. banding; dan/atau

8. peninjauan kembali.

     

(2) Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a. utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa; dan/atau

b. utang pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan.

 

Bagian Keempat
Wajib Pajak Bendahara

Pasal 34

 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf d wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan.

(2) Pendaftaran diri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama sebelum melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak.

 

Pasal 35

 

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.


(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak ditunjuk sebagai bendahara; dan

b. dokumen identitas diri orang pribadi yang ditunjuk sebagai bendahara.


(3) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(5) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.

 

Pasal 36

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Kepala KPP atau KP2KP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.


(2) Penerbitan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.

 

Pasal 37

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak dalam hal:

a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan

b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar.


(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.


(3) Permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6) Setelah melakukan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 38

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam hal tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya pindah ke wilayah kerja KPP lain.


(2) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak yang baru.


(3) Pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan pemindahan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan tempat kedudukan Wajib Pajak.


(5) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(6) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(7) Setelah melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak atau Kepala KPP memberitahukan pemindahan tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 39

 

(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif.


(2) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.


(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria Wajib Pajak Non-Efektif.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(6) Kepala KPP memberitahukan persetujuan penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif atau penolakan permohonan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 40

 

(1) Kepala KPP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang:

a. tidak lagi memiliki kewajiban sebagai bendahara; atau

b. memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP.


(2) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada:

a. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau

b. KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.


(3) Permohonan Penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak sudah tidak memiliki kewajiban sebagai bendahara.


(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(6)  Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(7)  Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.


(8)  Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berakhir.


     

Pasal 41

 

(1) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dilakukan Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.


(2) Penghapusan NPWP atau secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.


(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak juga dapat melakukan penghapusan NPWP secara jabatan melalui penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Penghapusan NPWP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan penghapusan NPWP.

 

Pasal 42

 

(1) Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;

b. tidak sedang dilakukan tindakan:

1. pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;

2. pemeriksaan bukti permulaan;

3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau

4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; dan

c. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:

1. keberatan;

2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;

3. pengurangan atau pembatalan SKP;

4. pengurangan atau pembatalan STP;

5. pembatalan hasil pemeriksaan atau verifikasi;

6. gugatan;

7. banding; dan/atau

8. peninjauan kembali.


(2) Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a. utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa; dan/atau

b. utang pajak yang dimiliki oleh:

1. Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan; atau

2. Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan.

 

Bagian Keenam
Ketentuan Lain-Lain

Pasal 43


Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB III
PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Bagian Kesatu
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Pasal 44

 

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.


(2) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP.


(3) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang PPN dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.


(4) Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan oleh Pengusaha dengan menyampaikan permohonan pada:

a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha; atau

b. KPP tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(5) Selain melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP atau KP2KP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengusaha dapat melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP pada tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(6) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri keuangan.

 

Pasal 45

 

(1) Tempat pelaporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf a bagi Pengusaha orang pribadi yaitu:

a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, dalam hal tempat kegiatan usaha untuk melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN berada di tempat tinggalnya; dan/atau

b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN, dalam hal tempat kegiatan usaha tersebut berada di tempat yang berbeda dengan tempat tinggalnya.


(2) Dalam hal tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan jasa Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat PKP dikukuhkan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. terpenuhinya kondisi pengelola Kantor Virtual sebagai berikut:

1. telah dikukuhkan sebagai PKP;

2. menyediakan ruangan fisik untuk tempat kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai PKP; dan

3. secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor,

dan

b. Pengusaha pengguna jasa Kantor Virtual dimaksud memiliki izin usaha atau dokumen sejenis lainnya yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.

 

Pasal 46

 

(1) Tempat pelaporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf a bagi Pengusaha berbentuk Badan yaitu:

a. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya; dan

b. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai dengan Undang-Undang PPN.

(2)  Dalam hal tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan jasa Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat PKP dikukuhkan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. terpenuhinya kondisi pengelola Kantor Virtual sebagai berikut:

1. telah dikukuhkan sebagai PKP;

2. menyediakan ruangan fisik untuk tempat kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai PKP; dan

3. secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor,

dan

b. Pengusaha pengguna jasa Kantor Virtual dimaksud memiliki izin usaha atau dokumen sejenis lainnya yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.

 

Pasal 47

 

(1) Permohonan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 disampaikan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.

(2) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

a.secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

 

Pasal 48


Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) berupa:

a. untuk Pengusaha orang pribadi:

1. dokumen yang menunjukkan identitas diri Pengusaha untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing; dan

2. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas untuk setiap tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;

b. untuk Pengusaha berbentuk Badan:

1. dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya;

2. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha untuk setiap tempat kegiatan usaha; dan

3. dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha;

atau

c. untuk Pengusaha yang menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan, selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b, Pengusaha juga harus melampirkan:

1. dokumen yang menunjukkan kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis antara penyedia jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan

2. dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang.


 

Pasal 49


Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat diberikan sepanjang Pengusaha memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. untuk Pengusaha orang pribadi :

1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan

2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak;

     atau

b. untuk Pengusaha berbentuk Badan:

1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;

2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan

3. ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 juga berlaku untuk seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha.

 

 

Pasal 50

 

(1) Berdasarkan permohonan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4), Kepala KPP atau KP2KP meneliti pemenuhan kelengkapan dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.


(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP memberikan keputusan berupa:

a. menerima permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dan memberikan Sertifikat Elektronik, dalam hal permohonan Pengusaha memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49;

b. menolak permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, dalam hal permohonan Pengusaha tidak memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.


(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima lengkap.

 

Pasal 51

 

(1) Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a berfungsi sebagai otentifíkasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa:

a. layanan permintaan nomor seri Faktur Pajak melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau

b. penggunaan aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik (e-Faktur).


(2) Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki masa berlaku selama 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal Sertifikat Elektronik diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak, atau jangka waktu lain yang yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(3) Sebelum masa berlaku Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, PKP diperkenankan untuk meminta kembali Sertifikat Elektronik.


(4) Masa berlaku Sertifikat Elektronik yang telah diterbitkan Sertifikat Elektronik baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan berakhir.

 

Pasal 52

 

(1) Untuk dapat menggunakan layanan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Sertifikat Elektronik yang telah diberikan kepada PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a harus terlebih dahulu dilakukan aktivasi oleh KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan.


(2) Aktivasi Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan aktivasi oleh PKP yang disampaikan ke KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Pengusaha menyampaikan permintaan aktivasi Sertifikat Elektronik bersamaan dengan permohonan pengukuhan PKP; atau

b. PKP menyampaikan permintaan tersendiri setelah PKP dikukuhkan paling lama 3 (tiga) bulan setelah Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.


(3) Terhadap permintaan aktivasi Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas KPP atau KP2KP melakukan penelitian lapangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah :

a. Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dalam hal permintaan disampaikan bersamaan dengan permohonan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau

b. Permintaan aktivasi Sertifikat Elektronik tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterima.


(4)  Penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam rangka menguji kssesuaian informasi yang tercantum dalam dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan keadaan yang sebenarnya.


(5) Berdasarkan hasil penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPP atau KP2KP memberikan keputusan berupa:

a. mengaktifkan Sertifikat Elektronik, dalam hal permohonan Pengusaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau

b. mencabut pengukuhan PKP, dalam hal permohonan Pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


(6)  Kepala KPP atau KP2KP mencabut pengukuhan PKP, dalam hal PKP tidak menyampaikan permintaan aktivasi Sertifikat Elektronik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.

 

Pasal 53

 

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik terhadap PKP dengan kriteria sebagai berikut :

a. PKP yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak berturut-turut;

b. PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP; dan/atau

c. PKP selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(2) Terhadap penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PKP dapat menyampaikan klarifikasi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak penonaktifan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberitahukan; atau

b. dalam jangka waktu lain yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


(3) Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui bahwa PKP tidak memenuhi kriteria penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik, dilakukan pengaktifan kembali Sertifikat Elektronik.


(4) Dalam hal PKP tidak menyampaikan klarifikasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau klarifikasi PKP ditolak, dilakukan pencabutan pengukuhan PKP.

Pasal 54

 

(1) Kepala KPP dapat mengukuhkan PKP secara jabatan dalam hal Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban pelaporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).


(2) Pengukuhan PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi, sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.


(3) Kepala KPP memberikan keputusan pengukuhan PKP secara jabatan dan Sertifikat Elektronik kepada Pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Bagian Kedua
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Pasal 55


Pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan oleh Kepala KPP berdasarkan permohonan pencabutan pengukuhan PKP atau secara jabatan.

Pasal 56

 

(1) PKP menyampaikan permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan.


(2) Permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).


(3) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:

a. secara langsung;

b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


(5) Pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasü Pemeriksaan.


(6) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan PKP diterima secara lengkap.


(7) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan surat keputusan pencabutan pengukuhan PKP dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir.

Pasal 57

 

(1) Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dilakukan terhadap PKP yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).


(2) Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi.


(3) Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan melalui penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap PKP tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. PKP dengan status Wajib Pajak Non-Efektif;

b. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;

c. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

d. PKP yang pindah alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya;

e. PKP yang telah dinonaktifkan sementara Sertifikat Elektroniknya dan tidak melakukan klasifikasi atau klarifikasinya ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4); dan/atau

f. PKP dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


(4) Pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penerbitan keputusan pencabutan pengukuhan PKP.


(5) Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP terhadap PKP yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai PKP.

 

Pasal 58

(1) PKP dapat menyampaikan klarifikasi terhadap pencabutan PKP secara jabatan berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak keputusan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4) dikirim.


(2) Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa PKP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dilakukan pembatalan pencabutan pengukuhan PKP.


(3) Selain pembatalan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembatalan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki Direktorat Jenderal Pajak yang menunjukkan bahwa PKP memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.

 

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 59

 

(1) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP.


(2) Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP yang bersangkutan.

 

Pasal 60

 

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Sertifikat Elektronik kepada Wajib Pajak yang berfungsi sebagai otentifikasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak selain bagi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a.


(2) Pemberian Sertifikat Elektronik kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

Pasal 61


Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pelaksanaan:

  1. pendaftaran Wajib dan pemberian NPWP, perubahan data, pemindahan Wajib Pajak, penetapan Wajib Pajak Non-Efektif dan penghapusan NPWP;
  2. pelaporan usaha dan pengukuhan PKP, pemberian Sertitikat Elektronik, permintaan kembali Sertifikat Elektronik, pencabutan pengukuhan PKP dan Sertifikat Elektronik, klarifikasi pencabutan pengukuhan PKP, serta pembatalan pencabutan pengukuhan PKP;
  3. kegiatan ekstensifikasi untuk pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP;
  4. penentuan tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha bagi Wajib Pajak;
  5. kriteria PKP Sertifikat Elektroniknya dinonaktifkan sementara dan penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
  6. pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan terhadap PKP yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai PKP,

diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 62


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

1. Terhadap PKP yang dikukuhkan sebelum tanggal 1 Agustus 2007, dan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:

a. belum memiliki Sertifikat Elektronik; atau

b. pernah memiliki Sertifikat Elektronik namun sertifikat elektronik tersebut sudah habis masa berlakunya dan tidak meminta Sertifikat Elektronik baru,

Direktur Jenderal Pajak secara jabatan melakukan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5).

2. PKP yang dikukuhkan sejak tanggal 1 Agustuts 2007, dan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini belum memiliki Sertifikat Elektronik, berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. PKP wajib menyampaikan permintaan dan aktivasi Sertifikat Elektronik pada KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan, paling lama 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini; dan

b. Dalam hal PKP tidak menyampaikan permintaan dan aktivasi Sertifikat Elektronik dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Kepala KPP secara jabatan melakukan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.


3. Terhadap PKP yang menerbitkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak Juli, Agustus, dan/atau September tahun 2017, tidak dilakukan pencabutan pengukuhan PKP serta kepadanya diberikan Sertifikat Elektronik secara jabatan dan PKP tersebut harus melakukan aktivasi Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).


4. Terhadap permohonan pendaftaran NPWP, pengukuhan PKP, penghapusan NPWP, dan pencabutan pengukuhan PKP yang diajukan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dan belum diselesaikan, proses penyelesaian permohonan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 63


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 182/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1466), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan

  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 182/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1466), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2017.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1516


Selengkapnya : DOWNLOAD DISINI

 




ARTIKEL TERKAIT
 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 32/PJ/2014

PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE - 42/PJ/2013

PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTUselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)selengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.03/2017

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2016

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNANselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2018

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAKselengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)selengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2018

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 30/PJ/2017

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYAselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 22/PJ/2017

PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.03/2017

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 06/PJ/2016

PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAKselengkapnya

SURAT EDARAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI OLEH APARATUR SIPIL NEGARA/ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA/KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA MELALUI e-FILINGselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 01/PJ/2016

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015

TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA.selengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :