PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PMK.07/2010

Senin 16 Feb 2015 09:56Oktalista Putridibaca 1748 kaliAturan Pajak Lainnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11/PMK.07/2010 

 

UPDATE ATURAN INI : KLIK DISINI


 

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN
DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;


Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
  7. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;

 

MEMUTUSKAN :


Menetapkan:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI  DAERAH.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

  1. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.
  4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  5. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  6. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Raperda, adalah Raperda yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, untuk mendapat persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD.
  7. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Perda, adalah Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang telah mendapat persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD.
  8. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  9. Pelanggaran adalah tindakan pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda dan pemungutan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi.
  10. Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  11. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 

BAB II
PENYAMPAIAN, EVALUASI DAN KOORDINASI RAPERDA 

Pasal 2

 

(1)

Raperda provinsi yang telah disetujui bersama antara gubernur dan DPRD provinsi, sebelum ditetapkan menjadi Perda provinsi, terlebih dahulu disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD provinsi.

(2)

Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD provinsi.

 

Pasal 3

 

(1)

Raperda kabupaten/kota yang telah disetujui bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan menjadi Perda kabupaten/kota, terlebih dahulu disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota.

(2)

Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen persetujuan bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota.

 

Pasal 4

 

(1)

Raperda provinsi sebelum ditetapkan menjadi Perda provinsi, terlebih dahulu harus dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)

Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(3)

Hasil evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada daerah yang bersangkutan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Raperda dimaksud.

 

Pasal 5

 

(1)

Raperda kabupaten/kota sebelum ditetapkan menjadi Perda kabupaten/kota, terlebih dahulu harus dievaluasi oleh Gubernur.

(2)

Gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(3)

Hasil evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh gubernur kepada daerah yang bersangkutan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Raperda dimaksud.

 

Pasal 6

 

Evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan untuk menjamin agar Raperda tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

BAB III
PENETAPAN RAPERDA DAN PENYAMPAIAN PERDA

Pasal 7

 

(1)

Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa persetujuan, Gubernur menetapkan Raperda provinsi menjadi Perda provinsi.

(2)

Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi Raperda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa penolakan, gubernur bersama DPRD provinsi memperbaiki Raperda provinsi tersebut.

(3)

Raperda provinsi yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kembali oleh gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan sebagai laporan.

(4)

Raperda provinsi yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Gubernur menetapkan Raperda provinsi menjadi Perda provinsi.

(5)

Raperda provinsi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4), disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan Perda provinsi.

 

Pasal 8

 

(1)

Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berupa persetujuan, bupati/walikota menetapkan Raperda kabupaten/kota menjadi Perda kabupaten/kota.

(2)

Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berupa penolakan, bupati/walikota bersama DPRD kabupaten/kota memperbaiki Raperda kabupaten/kota.

(3)

Raperda kabupaten/kota yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kembali oleh bupati/walikota kepada gubernur dan Menteri Keuangan sebagai laporan.

(4)

Raperda kabupaten/kota yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, bupati/ walikota menetapkan Raperda kabupaten/kota menjadi Perda kabupaten/kota.

(5)

Raperda kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan oleh bupati/walikota kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan Perda kabupaten/kota.

 

BAB IV
PEMBATALAN PERDA 

Pasal 9

 

(1)

Terhadap Perda yang ditetapkan tetapi tidak mengikuti hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 sehingga bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(2)

Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang diakibatkan oleh adanya perubahan kebijakan nasional, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3)

Berdasarkan rekomendasi pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri Dalam Negeri mengajukan Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda kepada Presiden paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rekomendasi pembatalan Perda dimaksud.

(4)

Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkannya Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

 

BAB V
BENTUK PELANGGARAN

Pasal 10

 

(1)

Bentuk pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah terbagi dalam dua kelompok, yaitu:

a.

Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Raperda menjadi Perda; dan

b.

Pelanggaran terhadap larangan pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan.

(2)

Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:

a.

Daerah menetapkan Raperda dengan tidak melalui proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1);

b.

Daerah menetapkan Raperda tetapi tidak mengikuti hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (3);

c.

Daerah tidak menyampaikan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 8 ayat (5).

(3)

Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Daerah tetap melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan oleh Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).

 

BAB VI
SANKSI

Bagian Kesatu
Bentuk Sanksi

Pasal 11

 

(1)

Sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi Daerah yang tidak memperoleh DAU.

(2)

Sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan.

 

Bagian Kedua
Besaran Penundaan atau Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau 
Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan

Pasal 12

 

(1)

Besaran sanksi penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk setiap periode penyaluran.

(2)

Besaran sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditetapkan sebesar perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dipungut berdasarkan Perda yang telah dibatalkan untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan.

(3)

Perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dihitung berdasarkan pendekatan rencana penerimaan yang tercantum dalam APBD Daerah yang bersangkutan.

(4)

Dalam hal rencana penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dibatalkan tidak atau belum tercantum dalam APBD, maka sanksi pemotongan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan setiap periode penyaluran.

(5)

Pengenaan sanksi pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan yang terbesar setelah membandingkan hasil penghitungan 5% (lima persen) dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan setiap periode penyaluran.

 

 

 

 

BAB VII
TATA CARA PENGENAAN DAN PENCABUTAN SANKSI 

Pasal 13

 

(1)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan mengenai pengenaan sanksi bagi Daerah yang melakukan Pelanggaran.

(2)

Khusus untuk pengenaan sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan, keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat teguran kepada Daerah yang bersangkutan.

(3)

Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi pemberitahuan bahwa Daerah yang bersangkutan akan dikenakan Sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan jika Daerah tidak menghentikan pelaksanaan Perda yang telah dibatalkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda.

(4)

Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan copy salinan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda.

(5)

Keputusan pengenaan Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan dalam hal Kepala Daerah menyampaikan surat atau keputusan penghentian pelaksanaan Perda yang dibatalkan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya surat teguran dimaksud.

(6)

Keputusan pengenaan Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan.

 

Pasal 14

 

(1)

Pengenaan Sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dilakukan mulai pada penyaluran bulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi.

(2)

Pengenaan Sanksi berupa penundaan atau pemotongan DBH Pajak Penghasilan dilakukan mulai pada penyaluran triwulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi.

 

Pasal 15

 

(1)

Pelaksanaan penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan tidak dapat melampaui tahun anggaran yang bersangkutan.

(2)

DAU atau DBH Pajak Penghasilan yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disalurkan pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan.

(3)

Dalam hal sanksi belum dicabut, penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya.

 

Pasal 16

 

(1)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan dalam rangka pencabutan sanksi.

(2)

Pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

terhadap penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan karena Daerah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, pencabutan sanksi dilakukan apabila Perda telah diterima dan selesai dievaluasi; dan

b.

terhadap pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan karena Daerah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, pencabutan sanksi dilakukan apabila Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menerima surat atau keputusan Kepala Daerah mengenai penghentian pelaksanaan pemungutan pajak dan/atau retribusi dari Perda yang telah dibatalkan.

(3)

Keputusan pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4)

DAU atau DBH Pajak Penghasilan yang ditunda penyalurannya sebagai akibat dari pengenaan sanksi disalurkan pada penyaluran berikutnya setelah tanggal pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

 

BAB VIII
PEMANTAUAN

Pasal 17

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas pemenuhan ketentuan mengenai prosedur penetapan Perda, penyampaian Perda, dan penghentian pelaksanaan pemungutan atas Perda yang telah dibatalkan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap tahun anggaran.

(3)

Hasil pemantauan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan sanksi.

 

BAB IX
KETENTUAN TEKNIS 

Pasal 18


Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 28

 

 

Selengkapnya : DOWNLOAD DISINI




ARTIKEL TERKAIT
 

Apakah yang dimaksud dengan PPN?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanselengkapnya

PMK -90/PMK.03/2015 tentang PPh Pasal 22 atas Barang yang Tergolong Mewah

Kami informasikan perubahan aturan terkait dengan terbitnya aturan PMK -90/PMK.03/2015selengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKANselengkapnya

Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Finalselengkapnya

Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeriselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2015

JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008selengkapnya

Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan

Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badanselengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


Langkah Pelaporan Realisasi Fasilitas PMK Nomor 44/PMK 03/2020Langkah Pelaporan Realisasi Fasilitas PMK Nomor 44/PMK 03/2020

Login ke alamat resmi djponline.pajak.go.id, login sesuai NPWP dan Password yang sudah terdaftar pada laman DJP Online dan masukkan captcha yang tertera pada layar utama login. Setelah berhasil login laman akan menampilkan menu Utama, kemudian pilih menu Layanan. Setelah masuk menu Layanan, laman akan menampilkan sub menu dari menu Layanan kemudian pilih eReporting Insentif Covid-19.   - Padaselengkapnya

Cara Memperoleh Insentif Pajak Ditanggung Pemerintah Bagi UMKM Terdampak COVID-19Cara Memperoleh Insentif Pajak Ditanggung Pemerintah Bagi UMKM Terdampak COVID-19

Kementrian Keuangan resmi menanggung PPh Final UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dengan patokan 0.5% dari peredaran bruto. Para pelaku UMKM di seluruh Indonesia mendapat fasilitas pajak PPh Final DTP (Ditanggung Pemerintah). PPh Final DTP tersebut diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020.selengkapnya

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak BadanBatas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badan

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badanselengkapnya

Pajak E-Commerce : PMK No 210/PMK.010/2018Pajak E-Commerce :  PMK No 210/PMK.010/2018

Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce.selengkapnya

Batas Pembayaran dan Pelaporan SPT TahunanBatas Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunan

Batas Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunanselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 02/PJ/2019

TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 210/PMK.010/2018

TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (E-COMMERCE)selengkapnya

Cara Menghitung Pajak UMKM yang disetor sendiriCara Menghitung Pajak UMKM yang disetor sendiri

Mulai masa pajak Juli 2018 ini, Wajib Pajak UMKM sudah dapat menerapkan tarif pajak yang baru yaitu 0,5% (sebelumnya 1%) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.selengkapnya

Langkah-langkah jika lupa EFIN untuk mengisi SPT TahunanLangkah-langkah jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunan

Langkah-langkah yang harus dilakukan jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunanselengkapnya

S-421/PJ.03/2018 - Pedoman Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) UMKM

Kami informasikan perubahan aturan terkait dengan terbitnya aturan NOMOR S - 421/PJ.03/2018selengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :